Jumat, 25 Mei 2018
MATERI SEJARAH WAJIB KELAS X IPA SMA SEMESTER GENAP KURIKULUM 2013 REVISI 2017
MATERI SEJARAH WAJIB KELAS X IPA SMA SEMESTER GENAP
KURIKULUM 2013 REVISI 2017
1. KERAJAAN KEDIRI : awal di Kerajaan Kediri ditandai dengan perang saudara antara Samarawijaya yang berkuasa di Panjalu dan Panji Garasakan yang berkuasa di Jenggala dan dimenangkan oleh Panji Garasakan. Tahun 1059 M yang memerintah adalah Samarotsaha. Baru pada tahun 1104 M tampil Kerajaan Panjalu sebagai rajanya Jayawangsa. Kerajaan ini lebih dikenal dengan nama Kerajaan Kediri dengan ibu kotanya di Daha. Tahun 1117 M Bameswara tampil sebagai Raja Kediri Prasasti yang ditemukan, antara lain Prasasti Padlegan (1117 M) dan Panumbangan (1120 M). Isinya yang penting tentang pemberian status perdikan untuk beberapa desa. Pada tahun 1135 M tampil raja yang sangat terkenal, yakni Raja Jayabaya. Ia meninggalkan tiga prasasti penting, yakni Prasasti Hantang atau Ngantang (1135 M), Talan (1136 M) dan Prasasti Desa Jepun (1144 M). Prasasti Hantang memuat tulisan panjalu jayati, artinya panjalu menang. Hal itu untuk mengenang kemenangan Panjalu atas Jenggala. Jayabaya telah berhasil mengatasi berbagai kekacauan di kerajaan.Pada masa pemerintahan Jayabaya telah digubah dan Kitab Baratayuda oleh Empu Sedah kemudian dilanjutkan oleh Empu Panuluh. Kitab Kresnayana ditulis oleh Empu Triguna pada zaman Raja Jayaswara. Isinya mengenai perkawinan antara Kresna dan Dewi Rukmini. Kitab Smaradahana ditulis pada zaman Raja Kameswari oleh Empu Darmaja. Isinya menceritakan tentang sepasang suami istri Smara dan Rati yang menggoda Dewa Syiwa yang sedang bertapa. Smara dan Rail kena kutuk dan mati terbakar oleh api (dahana) karena kesaktian Dewa Syiwa. Akan tetapi, kedua suami istri itu dihidupkan lagi dan menjelma sebagai Kameswara dan permaisurinya. Kitab Lubdaka ditulis oleh Empu Tanakung pada zaman Raja Kameswara. Isinya tentang seorang pemburu bernama Lubdaka. Ia sudah banyak membunuh. Pada suatu ketika ia mengadakan pemujaan yang istimewa terhadap Syiwa, sehingga rohnya yang semestinya masuk neraka, menjadi masuk surga.
Perkembangan Politik, Sosial, dan Ekonomi Sampai masa awal pemerintahan Jayabaya, kekacauan akibat pertentangan dengan Janggala terus berlangsung. Mata pencaharian rakyat Kediri yang penting adalah pertanian dengan hasil utamanya padi. Pelayaran dan perdagangan juga berkembang. Hal ini ditopang oleh Angkatan Laut Kediri yang cukup tangguh. Armada laut Kediri mampu menjamin keamanan perairan Nusantara. Di Kediri telah ada Senopati Sarwajala (panglima angkatan laut). Bahkan Sriwijaya yang pernah mengakui kebesaran Kediri, yang telah mampu mengembangkan pelayaran dan perdagangan. Barang perdagangan di Kediri antara lain emas, perak, gading, kayu cendana, dan pinang. Kesadaran rakyat tentang pajak sudah tinggi. Rakyat menyerahkan barang atau sebagian hasil buminya kepada pemerintah.
Menurut berita Cina, dan kitab Ling-wai-tai-ta diterangkan bahwa dalam kehidupan sehari-hari orang-orang memakai kain sampai di bawah lutut. Rambutnya diurai. Rumah-rumah mereka bersih dan teratur, lantainya ubin yang berwarna kuning dan hijau. Dalam perkawinan, keluarga pengantin wanita menerima mas kawin berupa emas. Rajanya berpakaian sutera, memakai sepatu, dan perhiasan emas. Rambutnya disanggul ke atas. Kalau bepergian, Raja naik gajah atau kereta yang diiringi oleh 500 sampai 700 prajurit. Di bidang kebudayaan, yang menonjol adalah perkembangan seni sastra dan pertunjukan wayang. Di Kediri dikenal adanya wayang panji. Beberapa karya sastra yang terkenal, sebagai berikut.
Raja yang terakhir dan Kerajaan Kediri adalah Kertajaya atau Dandang Gendis. Pada masa pemerintahannya, terjadi pertentangan antara raja dan para pendeta atau kaum brahmana, karena Kertajaya berlaku sombong dan berani melanggar adat. Hal ini memperlemah pemerintahan di Kediri.Para brahmana kemudian mencari perlindungan kepada Ken Arok yang merupakan penguasa di Tumapel. Pada tahun 1222 M, Ken Arok dengan dukungan kaum brahmana menyerang Kediri. Kediri dapat dikalahkan oleh Ken Arok.
2. KERAJAAN SINGOSARI
a. Ken Arok (1222 – 1227 M)
Setelah berakhirnya Kerajaan Kediri, kemudian berkembang Kerajaan Singhasari. Pusat Kerajaan Singhasari kira-kira terletak di dekat kota Malang, Jawa Timur. Kerajaan ini didirikan oleh Ken Arok. Menurut kitab Pararaton, Ken Arok adalah anak seorang petani dari Desa Pangkur, di sebelah timur Gunung Kawi, daerah Malang. Ibunya bernama Ken Endok.
Pada tahun 1222 M Ken Arok atas dukungan para pendeta melakukan serangan ke Kediri. Raja Kertajaya dapat ditaklukkan oleh Ken Arok dalam pertempurannya di Ganter, dekat Pujon, Malang. Setelah Kediri berhasil ditaklukkan, maka seluruh wilayah Kediri dipersatukan dengan Tumapel dan lahirlah Kerajaan Singhasari.
Setelah berdiri Kerajaan Singhasari, Ken Arok tampil sebagai raja pertama. Ken Arok sebagai raja bergelar Sri Ranggah Rajasa Sang Amurwabumi. Ken Arok memerintah selama lima tahun. Pada tahun 1227 M Ken Arok dibunuh oleh seorang pengalasan atau pesuruh dan Batil, atas perintah Anusapati. Anusapati adalah putra Ken Dedes dengan Tunggul Ametung. Jenazah Ken Arok dicandikan di Kagenengan dalam bangunan perpaduan Syiwa-Buddha. Ken Arok meninggalkan beberapa putra. Bersama Ken Umang, Ken Arok memiliki empat putra, yaitu Panji Tohjoyo, Panji Sudatu, Panji Wregola, dan Dewi Rambi. Bersama Ken Dedes, Ken Arok mempunyai putra bernama Mahesa Wongateleng.
b. Anusapati
Tahun 1227 M Anusapati naik takhta Kerajaan Singhasari. Ia memerintah selama 21 tahun. Akan tetapi, ia belum banyak berbuat untuk pembangunan kerajaan. Lambat laun berita tentang pembunuhan Ken Arok sampai pula kepada Tohjoyo (putra Ken Arok). Oleh karena ia mengetahui pembunuh ayahnya adalah Anusapati, maka Tohjoyo ingin membalas dendam, yaitu membunuh Anusapati. Tohjoyo mengetahui bahwa Anusapati memiliki kesukaan menyabung ayam maka ia mengajak Anusapati untuk menyabung ayam. Pada saat menyabung ayam, Tohjoyo berhasil membunuh Anusapati. Anusapati dicandikan di Candi Kidal dekat Kota Malang sekarang. Anusapati meninggalkan seorang putra bernama Ronggowuni.
c. Tohjoyo (1248 M)
Setelah berhasil membunuh Anusapati, Tohjoyo naik tahta. Masa pemerintahannya sangat singkat, Ronggowuni yang merasa berhak atas tahta kerajaan, menuntut tahta kepada Tohjoyo. Ronggowuni dalam hal ini dibantu oleh Mahesa Cempaka, putra dari Mahesa Wongateleng. Menghadapi tuntutan ini, maka Tohjoyo mengirim pasukannya di bawah Lembu Ampal untuk melawan Ronggowuni. Kemudian terjadi pertempuran antara pasukan Tohjoyo dengan pengikut Ronggowuni. Dalam pertempuran tersebut Lembu Ampal berbalik memihak Ronggowuni. Serangan pengikut Ronggowuni semakin kuat dan berhasil menduduki istana Singhasari. Tohjoyo berhasil meloloskan diri dan akhirnya meninggal di daerah Katang Lumbang akibat luka-luka yang dideritanya.
d. Ronggowuni (1248 - 1268 M)
Ronggowuni naik tahta Kerajaan Singhasari tahun 1248 M. Ronggowuni bergelar Sri Jaya Wisnuwardana. Dalam memerintah ia didampingi oleh Mahesa Cempaka yang berkedudukan sebagai Ratu Anggabaya. Mahesa Cempaka bergelar Narasimhamurti. Di samping itu, pada tahun 1254 M Wisnuwardana juga mengangkat putranya yang bernama Kertanegara sebagai raja muda atau Yuwaraja. Pada saat itu Kertanegara masih sangat muda. Singhasari di bawah pemerintahan Ronggowuni dan Mahesa Cempaka hidup dalam keadaan aman dan tenteram. Rakyat hidup dengan bertani dan berdagang. Kehidupan rakyat juga mulai terjamin. Raja memerintahkan untuk membangun benteng pertahanan di Canggu Lor.
Tahun 1268 M, Ronggowuni meninggal dunia dan dicandikan di dua tempat, yaitu sebagai Syiwa di Waleri dan sebagai Buddha Amogapasa di Jajagu. Jajagu kemudian dikenal dengan Candi Jago. Bentuk Candi Jago sangat menarik, yaitu kaki candi bertingkat tiga dan tersusun berundak-undak. Reliefnya datar dan gambar orangnya menyerupai wayang kulit di Bali. Tokoh satria selalu diikuti dengan punakawan. Tidak lama kemudian Mahesa Cempaka pun meninggal dunia. Ia dicandikan di Kumeper dan Wudi Kucir.
e. Kertanegara (1268 - 1292 M)
Tahun 1268 M Kertanegara naik tahta menggantikan Ronggowuni. Ia bergelar Sri Maharajadiraja Sri Kertanegara. Kertanegara merupakan raja yang paling terkenal di Singhasari. Ia bercita-cita, Singhasari menjadi kerajaan yang besar. Untuk mewujudkan cita-citanya, maka Kertanegara melakukan berbagai usaha.
Perluasan Daerah Singhasari
Kertanegara menginginkan wilayah Singhasari hingga meliputi seluruh Nusantara. Beberapa daerah berhasil ditaklukkan, misalnya Bali, Kalimantan Barat Daya, Maluku, Sunda, dan Pahang. Penguasaan daerah-daerah di luar Jawa yang merupakan pelaksanaan politik luar negeri bertujuan untuk mengimbangi pengaruh Kubilai Khan dari Cina. Pada tahun 1275 M Raja Kertanegara mengirimkan Ekspedisi Pamalayu di bawah pimpinan Mahesa Anabrang (Kebo Anabrang). Sasaran dari ekspedisi ini untuk menguasai Sriwijaya. Akan tetapi, untuk menguasainya harus melalui daerah sekitarnya termasuk bersahabat dan menanamkan pengaruh Singhasari di Melayu. Sebagai tanda persahabatan, Kertanegara menghadiahkan patung Amogapasa kepada penguasa Melayu. Ekspedisi Pamalayu diharapkan akan menggoyahkan Sriwijaya.
Dalam rangka memperkuat politik luar negeranya, Kertanegara menjalin hubungan dengan kerajaan-kerajaan lain di luar Kepulauan Indonesia. Misalnya dengan Raja Jayasingawarman III dan Kerajaan Campa. Bahkan Raja Jayasingawarman III memperistri salah seorang saudara perempuan dari Kertanegara. Kertanegara memandang Cina sebagai saingan. Berkalikali utusan Kaisar Cina memaksa Kertanegara agar mengakui kekuasaan Cina, tetapi ditolak oleh Kertanegara. Terakhir pada tahun 1289 M datang utusan Cina yang dipimpin oleh Mengki. Kertanegara marah, Meng-ki disakiti dan disuruh kembali ke Cina. Hal inilah yang membuat marah Kaisar Cina yang bernama Kubilai Khan. Ia merencanakan membalas tindakan Kertanegara.
Perkembangan Politik dan Pemerintahan
Untuk menciptakan pemerintahan yang kuat dan teratur, Kertanegara telah membentuk badan-badan pelaksana. Raja sebagai penguasa tertinggi. Kemudian raja mengangkat tim penasihat yang terdiri atas Rakryan i Hino, Rakryan i Sirikan, dan Rakryan i Halu. Untuk membantu raja dalam pelaksanaan pemerintahan, diangkat beberapa pejabat tinggi kerajaan yang terdiri atas Rakryan Mapatih, Rakryan Demung dan Rakryan Kanuruhan. Selain itu, ada pegawaipegawai rendahan.
Untuk menciptakan stabilitas politik dalam negeri, Kertanegara melakukan penataan di lingkungan para pejabat. Orang-orang yang tidak setuju dengan cita-cita Kertanegara diganti. Sebagai contoh, Patih Raganata (Kebo Arema) diganti oleh Aragani dan Banyak Wide dipindahkan ke Madura, menjadi Bupati Sumenep dengan nama Arya Wiraraja.
Kehidupan Agama
Pada masa pemerintahan Kertanegara, agama Hindu maupun Buddha berkembang dengan baik. Bahkan terjadi Sinkretisme antara agama Hindu dan Buddha, menjadi bentuk Syiwa-Buddha. Sebagai contoh, berkembangnya aliran Tantrayana. Kertanegara sendiri penganut aliran Tantrayana. Usaha untuk memperluas wilayah dan mencari dukungan dan berbagai daerah terus dilakukan oleh Kertanegara. Banyak pasukan Singhasari yang dikirim ke berbagai daerah. Antara lain pasukan yang dikirim ke tanah Melayu. Oleh karena itu, keadaan ibu dua kota kerajaan kekuatannya berkurang.
Keadaan ini diketahui oleh pihak-pihak yang tidak senang terhadap kekuasaan Kertanegara. Pihak yang tidak senang itu antara lain Jayakatwang, penguasa Kediri. Ia berusaha menjatuhkan kekuasaan Kertanegara. Saat yang dinantikan oleh Jayakatwang ternyata telah tiba. Istana Kerajaan Singhasari dalam keadaan lemah. Pasukan kerajaan hanya tersisa sebagian kecil. Pada saat itu, Kertanegara sedang melakukan upacara keagamaan dengan pesta pora, sehingga Kertanegara benar-benar lengah. Tibatiba, Jayakatwang menyerbu istana Kertanegara. Serangan Jayakatwang dibagi menjadi dua arah. Sebagian kecil pasukan Kediri menyerang dari arah utara untuk memancing pasukan Singhasari keluar dari pusat kerajaan. Sementara itu induk pasukan Kediri bergerak dan menyerang dari arah selatan.
Untuk menghadapi serangan Jayakatwang, Kertanegara mengirimkan pasukan yang ada di bawah pimpinan Raden Wijaya dan Pangeran Ardaraja. Ardaraja adalah anak Jayakatwang dan menantu dari Kartanegara. Pasukan Kediri yang datang dari arah utara dapat dikalahkan oleh pasukan Raden Wijaya Akan tetapi, pasukan inti dengan leluasa masuk dan menyerang istana, sehingga berhasil menewaskan Kertanegara. Peristiwa ini terjadi pada tahun 1292 M. Raden Wijaya dan pengikutnya kemudian meloloskan diri setelah mengetahui istana kerajaan dihancurkan oleh pasukan Kediri. Sedangkan Ardaraja membalik dan bergabung dengan pasukan Kediri.
Jenazah Kertanegara kemudian dicandikan di dua tempat, yaitu di Candi Jawi di Pandaan dan di Candi Singosari, di daerah Singosari, Malang. Sebagai raja yang besar, nama Kertanegara diabadikan di berbagai tempat. Bahkan di Surabaya ada sebuah arca Kertanegara yang menyerupai bentuk arca Buddha. Arca Kertanegara itu dinamakan arca Joko Dolok. Dengan terbunuhnya Kertanegara maka berakhirlah Kerajaan Singhasari.
3. KERAJAAN MAJAPAHIT
Setelah Singhasari jatuh, berdirilah kerajaan Majapahit yang berpusat di Jawa Timur, abad ke-14 - ke-15 M. Berdirinya kerajaan ini sebenarnya sudah direncanakan oleh Kertarajasa Jayawarddhana (Raden Wijaya). Ia mempunyai tugas untuk melanjutkan kemegahan Singhasari yang saat itu sudah hampir runtuh. Saat itu dengan dibantu oleh Arya Wiraraja seorang penguasa Madura, Raden Wijaya membuka hutan di wilayah yang disebut dalam kitab Pararaton sebagai hutannya orang Trik. Desa itu dinamai Majapahit, yang namanya diambil dari buah maja, dan rasa “pahit” dari buah tersebut. Ketika pasukan Mongol tiba, Raden Wijaya bersekutu dengan pasukan Mongol untuk bertempur melawan Jayakatwang.
Setelah Raden Wijaya wafat, ia digantikan oleh puteranya Jayanegara. Jayanegara dikenal sebagai raja yang kurang bijaksana dan lebih suka bersenang-senang. Kondisi itulah yang menyebabkan pembantu-pembantunya melakukan pemberontakan. Di antara pemberontakan tersebut, yang dianggap paling berbahaya adalah pemberontakan Kuti. Pada saat itu, pasukan Kuti berhasil menduduki ibu kota negara. Jayanegara terpaksa menyingkir ke Desa Badander di bawah perlindungan pasukan Bhayangkara pimpinan Gajah Mada. Gajah Mada kemudian menyusun strategi dan berhasil menghancurkan pasukan Kuti. Atas jasa-jasanya, Gajah Mada diangkat sebagai patih Kahuripan (1319-1321) dan patih Kediri (1322-1330).
Masa pemerintahan Tribhuwanattunggadewi Jayawisnuwarddani adalah pembentuk kemegahan kerajaan. Tribhuwana berkuasa di Majapahit sampai kematian ibunya pada tahun 1350. Ia diteruskan oleh putranya, Hayam Wuruk. Pada masa Hayam Wuruk itulah Majapahit berada di puncak kejayaannya.
Hayam Wuruk disebut juga Rajasanagara. Ia memerintah Majapahit dari tahun 1350 hingga 1389. Pada masa pemerintahan Raja Hayam Wuruk dan Patih Gajah Mada, Majapahit mencapai zaman keemasan. Wilayah kekuasaan Majapahit sangat luas, bahkan melebihi luas wilayah Republik Indonesia sekarang. Oleh karena itu, Muhammad Yamin menyebut Majapahit dengan sebutan Negara nasional kedua di Indonesia. Seluruh kepulauan di Indonesia berada di bawah kekuasaan Majapahit. Hal ini memang tidak dapat dilepaskan dan kegigihan Gajah Mada. Sumpah Palapa, ternyata benar-benar dilaksanakan. Dalam melaksanakan cita-citanya, Gajah Mada didukung oleh beberapa tokoh, misalnya Adityawarman dan Laksamana Nala. Di bawah pimpinan Laksamana Nala Majapahit membentuk angkatan laut yang sangat kuat. Tugas utamanya adalah mengawasi seluruh perairan yang ada di Nusantara. Di bawah pemerintahan Hayam Wuruk, Majapahit mengalami kemajuan di berbagai bidang.
Menurut Kakawin Nagarakertagama pupuh XIII-XV, daerah kekuasaan Majapahit meliputi Sumatra, Semenanjung Malaya, Kalimantan, Sulawesi, kepulauan Nusa Tenggara, Maluku, Papua, Tumasik (Singapura) dan sebagian kepulauan Filipina. Majapahit juga memiliki hubungan dengan Campa, Kamboja, Siam, Birma bagian selatan, dan Vietnam, dan bahkan mengirim duta-dutanya ke Tiongkok.
SUMPAH PALAPA : Pada saat diangkat sebagai Mahapatih Gajah Mada bersumpah bahwa ia tidak akan beristirahat (amukti palapa) jika belum dapat menyatukan seluruh Nusantara. Sumpah itu kemudian dikenal dengan Sumpah Palapa sebagai berikut : “Lamun huwus kalah Nusantara isun amukti palapa, amun kalah ring Gurun, ring seran, Tanjungpura, ring Haru, ring Pahang, Dompo,ring Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, saman isun amukti palapa”. Artinya: “Setelah tunduk Nusantara, saya akan beristirahat; Sesudah kalah Gurun seran, Tanjungpura, Haru, Pahang, Dompo, Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, barulah saya akan beristirahat” Politik dan Pemerintahan Majapahit telah mengembangkan sistem pemerintahan yang teratur. Raja memegang kekuasaan tertinggi.
Dalam melaksanakan pemerintahan, raja dibantu oleh berbagai badan atau pejabat berikut.
Rakryan Mahamantri Katrini, dijabat oleh para putra raja, terdiri atas Rakryan i Hino, Rakryan i Sirikan, dan Rakryan I Halu. Dewan Pelaksana terdiri atas Rakryan Mapatih atau Patih Mangkabumi, Rakryan Tumenggung, Rakryan Demung, Rakryan Rangga dan Rakryan Kanuruhan. Kelima pejabat ini dikenal sebagai Sang Panca ring Wilwatika. Di antara kelima pejabat itu Rakryan Mapatih atau Patih Mangkubumi merupakan pejabat yang paling penting. Ia menduduki tempat sebagai perdana menteri. Bersama sama raja, ia menjalankan kebijaksanaan pemerintahan. Selain itu terdapat pula dewan pertimbangan yang disebut dengan Batara Sapta Prabu.
Untuk menciptakan pemerintahan yang bersih dan berwibawa, dibentuklah badan peradilan yang disebut dengan Saptopapati. Selain itu disusun pula kitab hukum oleh Gajah Mada yang disebut Kitab Kutaramanawa. Gajah Mada memang seorang negarawan yang mumpuni. Ia memahami pemerintahan strategi perang dan hukum.
Untuk mengatur kehidupan beragama dibentuk badan atau pejabat yang disebut Dharmadyaksa. Dharmadyaksa adalah pejabat tinggi kerajaan yang khusus menangani persoalan keagamaan. Di Majapahit dikenal ada dua Dharmadyaksa sebagai berikut.
1) Dharmadyaksa ring Kasaiwan, mengurusi agama Syiwa (Hindu),
2) Dharmadyaksa ring Kasogatan, mengurusi agama Buddha.
Dalam menjalankan tugas, masing-masing Dharmadyaksa dibantu oleh pejabat keagamaan yang diberi sebutan Sang Pamegat. Kehidupan beragama di Majapahit berkembang semarak. Pemeluk yang beragama Hindu maupun Buddha saling bersatu. Pada masa itupun sudah dikenal semboyan Bhinneka Tunggal Ika, artinya, sekalipun berbeda-beda baik Hindu maupun Buddha pada hakikatnya adalah satu jua. Kemudian secara umum kita artikan berbeda-beda akhirnya satu jua Berkat kepemimpinan Hayam Wuruk dan Gajah Mada, kehidupan politik, dan stabilitas nasional Majapahit terjamin.
Dalam membina hubungan dengan luar negeri, Majapahit mengenal motto Mitreka Satata, artinya negara sahabat.
Kehidupan Sosial Ekonomi : Keamanan dan kemakmuran rakyat diutamakan. Untuk itu dibangun jalan-jalan dan jembatanjembatan. Dengan demikian lalu lintas menjadi lancar. Hal ini mendukung kegiatan keamanan dan kegiatan perekonomian, terutama perdagangan. Lalu lintas perdagangan yang paling penting melalui sungai. Misalnya, Sungai Bengawan Solo dan Sungai Brantas. Akibatnya desa-desa di tepi sungai dan yang berada di muara serta di tepi pantai, berkembang menjadi pusat-pusat perdagangan. Hal itu menyebabkan terjadinya arus bolak-balik para pedagang yang menjajakan barang dagangannya dari daerah pantai atau muara ke pedalaman atau sebaliknya.Bahkan di daerah pantai berkembang perdagangan antar daerah, antar pulau, bahkan dengan pedagang dari luar.Kemudian timbullah kota-kota pelabuhan sebagai pusat pelayaran dan perdagangan. Beberapa kota pelabuhan yang penting pada zaman Majapahit, antara lain Canggu, Surabaya, Gresik, Sedayu, dan Tuban.
Perkembangan Sastra dan Budaya : Karya sastra yang paling terkenal pada zaman Majapahit adalah Kitab Negarakertagama. Kitab ini ditulis oleh Empu Prapanca pada tahun 1365 M. Di samping menunjukkan kemajuan di bidang sastra, Negarakertagama juga merupakan sumber sejarah Majapahit. Kitab lain yang penting adalah Sutasoma. Kitab ini disusun oleh Empu Tantular. Kitab Sutasoma memuat kata-kata yang sekarang menjadi semboyan negara Indonesia, yakni Bhinneka Tunggal Ika. Di samping itu, Empu Tantular juga menulis kitab Arjunawiwaha.
Bidang seni bangunan juga berkembang. Banyak bangunan candi telah dibuat. Misalnya Candi Penataran dan Sawentar di daerah Blitar, Candi Tigawangi dan Surawana di dekat Pare, Kediri, serta Candi Tikus di Trowulan.
Keruntuhan Majapahit lebih disebabkan oleh ketidakpuasan sebagian besar keluarga raja, setelah turunnya Hayam Wuruk. Perang Paregrek telah melemahkan unsur-unsur kejayaan Majapahit. Meskipun peperangan berakhir, Majapahit terus mengalami kelemahan karena raja yang berkuasa tidak mampu lagi mengembalikan kejayaannya. Unsur lain yang menyebabkan runtuhnya Majapahit adalah semakin meluasnya pengaruh Islam pada saat itu.
4. KERAJAAN BULELENG DAN WARMADHEWA DI BALI
Menurut berita Cina di sebelah timur Kerajaan Kaling ada daerah Po-li atau Dwa-pa-tan yang dapat disamakan dengan Bali. Adat istiadat di Dwa-pa-tan sama dengan kebiasaan orang-orang Kaling. Misalnya, penduduk biasa menulisi daun lontar. Bila ada orang meninggal, mayatnya dihiasi dengan emas dan ke dalam mulutnya dimasukkan sepotong emas, serta diberi bau-bauan yang harum. Kemudian mayat itu dibakar. Hal itu menandakan Bali telah berkembang. Dalam sejarah Bali, nama Buleleng mulai terkenal setelah periode kekuasaan Majapahit. Pada waktu di Jawa berkembang kerajaan-kerajaan Islam, di Bali juga berkembang sejumlah kerajaan.
Misalnya Kerajaan Gelgel, Klungkung, dan Buleleng yang didirikan oleh I Gusti Ngurak Panji Sakti, dan selanjutnya muncul kerajaan yang lain. Nama Kerajaan Buleleng semakin terkenal, terutama setelah zaman penjajahan Belanda di Bali. Pada waktu itu pernah terjadi perang rakyat Buleleng melawan Belanda. Pada zaman kuno, sebenarnya Buleleng sudah berkembang. Pada masa perkembangan Kerajaan Dinasti Warmadewa, Dari Buleleng barang dagangan yang berupa hasil pertanian seperti kapas, beras, asam, kemiri, dan bawang diangkut atau diperdagangkan ke pulau lain (daerah seberang). Perdagangan dengan daerah seberang mengalami perkembangan pesat pada masa Dinasti Warmadewa yang diperintah oleh Anak Wungsu. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya kata-kata pada prasasti yang disimpan di Desa Sembiran yang berangka tahun 1065.
Pada waktu itu sudah dikenal beberapa jenis alat tukar (uang), misalnya ma, su dan piling.
TERBENTUKNYA JARINGAN NUSANTARA MELALUI PERDAGANGAN
Prasyarat untuk dapat menguasai jalur dan pusat perdagangan ditentukan oleh dua hal penting yaitu perhatian atau cara pandang dan kemampuan menguasai lautan.
Jika pada masa praaksara hegemoni budaya dominan datang dari pendukung budaya Austronesia dari Asia Tenggara Daratan.
Pada masa perkembangan Hindhu-Buddha di Nusantara terdapat dua kekuatan peradaban besar, yaitu Cina di utara dan India di bagian barat daya. Mereka secara langsung terintegrasikan ke dalam jalinan perdagangan dunia pada masa itu. Selat Malaka menjadi penting sebagai pintu gerbang yang menghubungkan antara pedagang-pedagang Cina dan pedagang-pedagang India. Pada masa itu Selat Malaka merupakan jalur penting dalam pelayaran dan perdagangan bagi pedagang yang melintasi bandarbandar penting di sekitar Samudra Indonesia dan Teluk Persia. Selat itu merupakan jalan laut yang menghubungkan Arab dan India di sebelah barat laut Nusantara, dan dengan Cina di sebelah timur laut Nusantara. Jalur ini merupakan pintu gerbang pelayaran yang dikenal dengan nama “jalur sutra”. Penamaan ini digunakan sejak abad ke-1 hingga ke-16 M, dengan komoditas kain sutera yang dibawa dari Cina untuk diperdagangkan di wilayah lain. Ramainya rute pelayaran ini mendorong timbulnya bandar-bandar penting di sekitar jalur, antara lain Samudra Pasai, Malaka, dan Kota Cina (Sumatra Utara sekarang).
Disamping kian terbukanya jalur niaga Selat Malaka dengan perdagangan dunia internasional, jaringan perdagangan antarbangsa dan penduduk di Kepulauan Indonesia juga berkembang pesat selama masa Hindhu-Buddha. Jaringan dagang dan jaringan budaya antarkepulauan di Indonesia itu terutama terhubungkan oleh jaringan laut Jawa hingga kepulauan Maluku. Mereka secara tidak langsung juga terintegrasikan dengan jaringan ekonomi dunia yang berpusat di sekitar selat Malaka, dan sebagian di pantai barat Sumatra seperti Barus. Komoditas penting yang menjadi barang perdagangan pada saat itu adalah rempah-rempah, seperti kayu manis, cengkih, dan pala.
Peta politik di Jawa dan Sumatra abad ke-7, seperti ditunjukkan oleh D.G.E. Hall, bersumber dari catatan pengunjung Cina yang datang ke Sumatra. Dua negara di Sumatra disebutkan, Mo-lo-yeu (Melayu) di pantai timur, tepatnya di Jambi sekarang di muara Sungai Batanghari. Agak ke selatan dari itu terdapat Che-li-fo-che, pengucapan cara Cina untuk kata bahasa sanskerta, Criwijaya. Di Jawa terdapat tiga kerajaan utama, yaitu di ujung barat Jawa, terdapat Tarumanegara, dengan rajanya yang terkemuka Purnawarman, di Jawa bagian tengah ada Ho-ling (Kalingga), dan di Jawa bagian timur ada Singhasari dan Majapahit.
Selama periode Hindhu-Buddha, kekuatan besar Nusantara yang memiliki kekuatan integrasi secara politik, sejauh ini dihubungkan dengan kebesaran Kerajaan Sriwijaya, Singhasari, dan Majapahit.
AKULTURASI BUDAYA HINDU BUDHA
1. Seni Bangunan
Bentuk-bentuk bangunan candi di Indonesia pada umumnya merupakan bentuk akulturasi antara unsur-unsur budaya Hindu- Buddha dengan unsur budaya Indonesia asli. Bangunan yang megah, patung-patung perwujudan dewa atau Buddha, serta bagianbagian candi dan stupa adalah unsur-unsur dari India. Bentuk candicandi di Indonesia pada hakikatnya adalah punden berundak yang merupakan unsur Indonesia asli. Candi Borobudur merupakan salah satu contoh dari bentuk akulturasi tersebut.
Perbedaan Candi di Jawa Tengah dan Candi di Jawa Timur :
Candi Jawa Tengah Candi Jawa Timur
1. Candi berbentuk tambun dengan atap berundak-undak
2. Reliefnya tibul agak tinggi dengan hiasan lukisan bercorak naturalis
3. Puncak candi berbentuk ratna atu stupa
4. Candi terbuat dari batu andesit
5. Candi induk terletak di tengah halaman
6. Candi menghadap ke arah timur 1. Candi berbentuk ramping dan atapnya merupakan perpaduan dari tingkatan
2. Reliegnya timbul sedikit dan hiasan lukisannya berbentuk simbolis menyerupai wayang kulit
3. Puncak candi berbentuk kubus
4. Candi terbuat dari batu bata
5. Candi induk terletak di belakang halaman
6. Candi enghadap ke arah barat
2. Seni Rupa dan Seni Ukir
Masuknya pengaruh India juga membawa perkembangan dalam bidang seni rupa, seni pahat, dan seni ukir. Hal ini dapat dilihat pada relief atau seni ukir yang dipahatkan pada bagian dindingdinding candi. Misalnya, relief yang dipahatkan pada dinding-dinding pagar langkan di Candi Borobudur yang berupa pahatan riwayat Sang Buddha. Di sekitar Sang Buddha terdapat lingkungan alam Indonesia seperti rumah panggung dan burung merpati.
Pada relief kala makara pada candi dibuat sangat indah. Hiasan relief kala makara, dasarnya adalah motif binatang dan tumbuh-tumbuhan. Hal semacam ini sudah dikenal sejak masa sebelum Hindu. Binatang-binatang itu dipandang suci, maka sering diabadikan dengan cara di lukis.
3. Seni Sastra dan Aksara
Pengaruh India membawa perkembangan seni sastra di Indonesia. Seni sastra waktu itu ada yang berbentuk prosa dan ada yang berbentuk tembang (puisi). Berdasarkan isinya, kesusasteraan dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu tutur (pitutur kitab keagamaan), kitab hukum, dan wiracarita (kepahlawanan).
Bentuk wiracarita ternyata sangat terkenal di Indonesia, terutama kitab Ramayana dan Mahabarata. Kemudian timbul wiracarita hasil gubahan dari para pujangga Indonesia. Misalnya, Baratayuda yang digubah oleh Mpu Sedah dan Mpu Panuluh. Juga munculnya cerita-cerita Carangan.
Berkembangnya karya sastra terutama yang bersumber dari Mahabarata dan Ramayana, melahirkan seni pertunjukan wayang kulit (wayang purwa). Pertunjukan wayang kulit di Indonesia, khususnya di Jawa sudah begitu mendarah daging. Isi dan cerita pertunjukan wayang banyak mengandung nilai-nilai yang bersifat edukatif (pendidikan). Cerita dalam pertunjukan wayang berasal dari India, tetapi wayangnya asli dari Indonesia. Seni pahat dan ragam luas yang ada pada wayang disesuaikan dengan seni di Indonesia.
Perkembangan seni sastra yang sangat cepat didukung oleh penggunaan huruf pallawa, misalnya dalam karya-karya sastra Jawa Kuno. Pada prasasti-prasasti yang ditemukan terdapat unsur India dengan unsur budaya Indonesia. Misalnya, ada prasasti dengan huruf Nagari (India) dan huruf Bali Kuno (Indonesia).
4. Sistem Kepercayaan
Sejak masa praaksara, orang-orang di Kepulauan Indonesia sudah mengenal simbol-simbol yang bermakna filosofis. Sebagai contoh, kalau ada orang meninggal, di dalam kuburnya disertakan benda-benda. Di antara benda-benda itu ada lukisan seorang naik perahu, ini memberikan makna bahwa orang yang sudah meninggal rohnya akan melanjutkan perjalanan ke tempat tujuan yang membahagiakan yaitu alam baka. Masyarakat waktu itu sudah percaya adanya kehidupan sesudah mati, yakni sebagai roh halus. Oleh karena itu, roh nenek moyang dipuja oleh orang yang masih hidup (animisme).
Setelah masuknya pengaruh India kepercayaan terhadap roh halus tidak punah. Misalnya dapat dilihat pada fungsi candi. Fungsi candi atau kuil di India adalah sebagai tempat pemujaan. Di Indonesia, di samping sebagai tempat pemujaan, candi juga sebagai makam raja atau untuk menyimpan abu jenazah raja yang telah meninggal. Itulah sebabnya peripih tempat penyimpanan abu jenazah raja didirikan patung raja dalam bentuk mirip dewa yang dipujanya.
Bentuk bangunan lingga dan yoni juga merupakan tempat pemujaan terutama bagi orang-orang Hindu penganut Syiwaisme. Lingga adalah lambang Dewa Syiwa. Secara filosofis lingga dan yoni adalah lambang kesuburan dan lambang kemakmuran. Lingga lambang laki-laki dan yoni lambang perempuan.
5. Sistem Pemerintahan
Setelah datangnya pengaruh India di Kepulauan Indonesia, dikenal adanya sistem pemerintahan secara sederhana. Pemerintahan yang dimaksud adalah semacam pemerintah di suatu desa atau daerah tertentu. Rakyat mengangkat seorang pemimpin atau semacam kepala suku. Orang yang dipilih sebagai pemimpin biasanya orang yang sudah tua (senior), arif, dapat membimbing, memiliki kelebihan-kelebihan tertentu termasuk dalam bidang ekonomi, berwibawa, serta memiliki semacam kekuatan gaib (kesaktian). Setelah pengaruh India masuk, maka pemimpin tadi diubah menjadi raja dan wilayahnya disebut kerajaan. Hal ini secara jelas terjadi di Kutai. Salah satu bukti akulturasi dalam bidang pemerintahan, misalnya seorang raja harus berwibawa dan dipandang memiliki kekuatan gaib seperti pada pemimpin masa sebelum Hindu-Buddha.
ISLAMISASI DI INDONESIA
TEORI MASUKNYA ISLAM KE INDONESIA :
1. Teori Gujarat
Teori Gujarat adalah teori yang menyatakan bahwa Islam masuk di Indonesia berasal dari Gujarat, India. Teori ini pertama kali dicetuskan oleh dua orang sejarawan berkebangsaan Belanda, Snouck Hurgronje dan J.Pijnapel. Menurut mereka, Islam masuk ke Indonesia sejak awal abad ke 13 Masehi bersama dengan hubungan dagang yang terjalin antara masyarakat Nusantara dengan para pedagang Gujarat yang datang.
Teori masuknya Islam di Indonesia yang dicetuskan Hurgronje dan Pijnapel ini didukung oleh beberapa bukti, di antaranya batu nisan Sultan Samudera Pasai Malik As-Saleh tahun 1297 yang bercorak khas Islam Gujarat, catatan Marcopolo, serta adanya warna tasawuf pada aliran Islam yang berkembang di Indonesia.
Teori ini juga mempunyai kelemahan. Kelemahan teori Gujarat ditunjukan pada 2 sangkalan. Pertama, masyarakat Samudra Pasai menganut mazhab Syafii, sementara masyarakat Gujarat lebih banyak menganut mazhab Hanafi. Kedua, saat islamisasi Samudra Pasai, Gujarat masih merupakan Kerajaan Hindu.
2. Teori Persia
Umar Amir Husen dan Hoesein Djajadiningrat sebagai pencetus sekaligus pendukung teori Persia menyatakan bahwa Islam yang masuk di Indonesia pada abad ke 7 Masehi adalah Islam yang dibawa kaum Syiah, Persia.
Teori ini didukung adanya beberapa bukti pembenaran di antaranya kesamaan budaya Islam Persia dan Islam Nusantara (seperti adanya peringatan Asyura dan peringatan Tabut), kesamaan ajaran Sufi, penggunaan istilah persia untuk mengeja huruf Arab, kesamaan seni kaligrafi pada beberapa batu nisan, serta bukti maraknya aliran Islam Syiah khas Iran pada awal masuknya Islam di Indonesia. Hoesein Djajadiningrat mengatakan bahwa Islam yang masuk ke Indonesia berasal Persia (Iran sekarang). Pendapatnya didasarkan pada kesamaan budaya dan tradisi yang berkembang antara masyarakat Parsi dan Indonesia. Tradisi tersebut antara lain: tradisi merayakan 10 Muharram atau Asyuro sebagai hari suci kaum Syiah atas kematian Husein bin Ali, seperti yang berkembang dalam tradisi tabot di Pariaman di Sumatra Barat dan Bengkulu
Kelemahan Teori Persia bila dikatakan bahwa Islam masuk pada abad ke 7, maka kekuasaan Islam di Timur Tengah masih dalam genggaman Khalifah Umayyah yang berada di Damaskus, Baghdad, Mekkah, dan Madinah. Jadi tidak memungkinkan bagi ulama Persia untuk menyokong penyebaran Islam secara besar-besaran ke Nusantara.
3. Teori Arab atau Teori Makkah
Teori Arab atau Teori Makkah menyatakan bahwa proses masuknya Islam di Indonesia berlangsung saat abad ke 7 Masehi. Islam dibawa para musafir Arab yang memiliki semangat untuk menyebarkan Islam ke seluruh belahan dunia. Tokoh yang mendukung teori ini adalah Van Leur, Anthony H. Johns, T.W Arnold, dan Buya Hamka.
Teori masuknya Islam di Indonesia ini didukung beberapa 3 bukti utama. Pertama, pada abad ke 7 Masehi, di Pantai Timur Sumatera memang telah terdapat perkampungan Islam khas dinasti Ummayyah, Arab. Lalu, madzhab yang populer kala itu khususnya di Samudera Passai adalah madzhab Syafii yang juga populer di Arab dan Mesir. Dan yang ketiga, adanya penggunaan gelar Al Malik pada raja-raja Samudera Pasai yang hanya lazim ditemui pada budaya Islam di Mesir.
Hingga kini, teori Arab dianggap sebagai teori yang paling kuat. Kelemahannya hanya terletak pada kurangnya fakta dan bukti yang menjelaskan peran Bangsa Arab dalam proses penyebaran Islam di Indonesia.
4. Teori China
Teori China yang dicetuskan oleh Slamet Mulyana dan Sumanto Al Qurtuby baru baru ini menyebutkan bahwa, Islam masuk ke Indonesia karena dibawa perantau Muslim China yang datang ke Nusantara.
Teori ini didasari pada beberapa bukti yaitu fakta adanya perpindahan orang-orang muslim China dari Canton ke Asia Tenggara, khususnya Palembang pada abad ke 879 M; adanya masjid tua beraksitektur China di Jawa; raja pertama Demak yang berasal dari keturunan China (Raden Patah); gelar raja-raja demak yang ditulis menggunakan istilah China; serta catatan China yang menyatakan bahwa pelabuhan-pelabuhan di Nusantara pertama kali diduduki oleh para pedagang China.
5. Teori Maritim
Teori Maritim pertama kali dicetuskan sejarawan asal Pakistan, N.A. Baloch. Teori ini menyatakan bahwa penyebaran Islam di Nusantara tidak bisa dilepaskan dari kemampuan umat Islam dalam menjelajah samudera. Tidak dijelaskan darimana asal Islam yang berkembang di Indonesia, yang jelas menurut teori ini, masuknya Islam di Indonesia terjadi di sekitar abad ke 7 Masehi.
BUKTI ISLAM MASUK KE INDONESIA :
1.Masuknya Islam sejak Abad ke-7 Masehi
Sebagian ahli sejarah menyebut jika sejarah masuknya Islam ke Indonesia sudah dimulai sejak abad ke 7 Masehi. Pendapat ini diidasarkan pada berita yang diperoleh dari para pedagang Arab. Dari berita tersebut, dikeetahui bahwa para pedagang Arab ternyata telah menjaalin hubungan dagang dengan Indonesia pada masa perkembangan Keraajaan Sriwijaya pada abad ke 7.
2.Masuknya Islam sejak Abad ke-11 Masehi
Sebagian ahli sejarah lainnya berpendapat bahwa sejarah maasuknya Islam ke Indonesia dimulai pada abad ke 11 Masehi. Pendapat ini diidasarkan pada bukti adaanya sebuah batu nisan Fatimah binti Maimun yang berada di dekat Gresik Jawa Timur. Batu nisan ini berangka tahun 1082 Masehi.
3.Masuknya Islam sejak Abad ke-13 Masehi
Di samping kedua pendapat di atas, beberapa ahli lain justru meyakini apabila sejarah masuknya Islam ke Indonesia baru dimulai pada abad ke 13 Masehi. Pendapat ini didasarkan pada beberapa bukti yang leebih kuat, di antaranya dikaitkan dengan masa runtuhnya Dinasti Abassiah di Baghdad (1258), berita dari Marocopolo (1292), berita dari Ibnu Battuta (1345) dan batu nisan kubur Sultan Malik as Saleh di Samudra Pasai (1297), Pendapat tersebut juga diperkuat dengan masa penyebaran ajaran taasawuf di Indonesia.
Nah, marilah kita pelajari awal masuknya Islam di Nusantara.Pada pertengahan abad ke-15, ibukota Campa, Wijaya jatuh ke tangan Vietnam yang datang dari Utara. Dalam kenangan historis Jawa, Campa selalu diingat dalam kaitannya dengan Islamisasi. Dari sinilah Raden Rahmat anak seorang putrid Campa dengan seorang Arab, datang ke Majapahit untuk menemui bibinya yang telah kawin dengan raja Majapahit. Ia kemudian dikenal sebagai Sunan Ampel salah seorang wali tertua.
Sunan Giri yang biasa disebut sebagai ‘Paus’ dalam sumber Belanda bukan saja berpengaruh di kalangan para wali tetapi juga dikenang sebagai penyebar agama Islam di Kepulauan Indonesia bagian Timur. Raja Ternate Sultan Zainal Abidin pergi ke Giri (1495) untuk memperdalam pengetahuan agama. Tak lama setelah kembali ke Ternate, Sultan Zainal Abidin mangkat, tetapi beliau telah menjadikan Ternate sebagai kekuatan Islam. Di bagian lain, Demak telah berhasil mengislamkan Banjarmasin
KERAJAAN ISLAM DI INDONESIA
1. ISLAM DI SUMATERA
Berdasarkan catatan Tomé Pires dalam Suma Oriental (1512-1515) dikatakan bahwa di Sumatra, terutama di sepanjang pesisir Selat Malaka dan pesisir barat Sumatra terdapat banyak kerajaan Islam, baik yang besar maupun yang kecil. Diantarakerajaan-kerajaan tersebut antara lain Aceh, Biar dan Lambri, Pedir, Pirada, Pase, Aru, Arcat, Rupat, Siak, Kampar, Tongkal, Indragiri, Jambi, Palembang, Andalas, Pariaman, Minangkabau, Tiku, Panchur, dan Barus
a. Samudera Pasai
Samudera Pasai diperkirakan tumbuh berkembang antara tahun 1270 dan 1275, atau pertengahan abad ke-13. Kerajaan ini terletak lebih kurang 15 km di sebelah timur Lhokseumawe, Nanggroe Aceh Darussalam, dengan sultan pertamanya bernama Sultan Malik as-Shaleh (wafat tahun 696 H atau 1297 M). Dalam kitab Sejarah Melayu dan Hikayat Raja-Raja Pasai diceritakan bahwa Sultan Malik as-Shaleh sebelumnya hanya seorang kepala Gampong Samudera bernama Marah Silu. Setelah menganut agama Islam kemudian berganti nama dengan Malik as-Shaleh. Berikut ini merupakan urutan para raja-raja yang memerintah di Kesultanan Samudera Pasai:
Sultan Malik as-Shaleh (696 H/1297 M);--Sultan Muhammad Malik Zahir (1297-1326)-Sultan Mahmud Malik Zahir (± 1346-1383)--Sultan Zainal Abidin Malik Zahir (1383-1405)-Sultanah Nahrisyah (1405-1412)-Abu Zain Malik Zahir (1412)-Mahmud Malik Zahir (1513-1524).
b. Kesultanan Aceh Darussalam
Pada 1520 Aceh berhasil memasukkan Kerajaan Daya ke dalam kekuasaan Aceh Darussalam. Tahun 1524, Pedir dan Samudera Pasai ditaklukkan. Kesultanan Aceh Darussalam di bawah Sultan Ali Mughayat Syah menyerang kapal Portugis di bawah komandan Simao de Souza Galvao di Bandar Aceh.
Pada 1529 Kesultanan Aceh mengadakan persiapan untuk menyerang orang Portugis di Malaka, tetapi tidak jadi karena Sultan Ali Mughayat Syah wafat pada 1530, yang kemudian dimakamkan di Kandang XII Banda Aceh. Di antara penggantinya yang terkenal adalah Sultan Alauddin Riayat Syah al-Qahhar (1538- 1571). Usaha-usahanya adalah mengembangkan kekuatan angkatan perang, perdagangan, dan mengadakan hubungan internasional dengan kerajaan Islam di Timur Tengah, seperti Turki, Abessinia (Ethiopia), dan Mesir. Pada 1563 ia mengirimkan utusannya ke Constantinopel untuk meminta bantuan dalam usaha melawan kekuasaan Portugis. Dua tahun kemudian datang bantuan dari Turki berupa teknisi-teknisi, dan dengan kekuatan tentaranya Sultan Alauddin Riayat Syah at-Qahhar menyerang dan menaklukkan banyak kerajaan, seperti Batak, Aru, dan Barus. Untuk menjaga keutuhan Kesultanan Aceh, Sultan Alauddin Riayat Syah al-Qahhar menempatkan suami saudara perempuannya di Barus dengan gelar Sultan Barus, dua orang putra sultan diangkat menjadi Sultan Aru dan Sultan Pariaman dengan gelar resminya Sultan Ghari dan Sultan Mughal, dan di daerahdaerah pengaruh Kesultanan Aceh ditempatkan wakil-wakil dari Aceh.
Kemajuan Kesultanan Aceh Darussalam pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda mengundang perhatian para ahli sejarah. Di bidang politik Sultan Iskandar Muda telah menundukkan daerah-daerah di sepanjang pesisir timur dan barat. Demikian pula Johor di Semenanjung Malaya telah diserang, dan kemudian rnengakui kekuasaan Kesultanan Aceh Darussalam. Kedudukan Portugis di Malaka terus-menerus mengalami ancaman dan serangan, meskipun keruntuhan Malaka sebagai pusat perdagangan di Asia Tenggara baru terjadi sekitar tahun 1641 oleh VOC (Verenigde Oost Indische Compagnie) Belanda. Perluasan kekuasaan politik VOC sampai Belanda pada dekade abad ke-20 tetap menjadi ancaman Kesultanan
2. ISLAM DI JAWA
a. Kerajaan Demak
Para ahli memperkirakan Demak berdiri tahun 1500. Sementara Majapahit hancur beberapa waktu sebelumnya. Menurut sumber sejarah lokal di Jawa, keruntuhan Majapahit terjadi sekitar tahun 1478. Hal ini ditandai dengan candrasengkala, Sirna Hilang Kertaning Bhumi yang berarti memiliki angka tahun 1400 Saka. Raja pertama kerajaan Demak adalah Raden Fatah, yang bergelar Sultan Alam Akbar Al-Fatah. Raden Fatah memerintah Demak dari tahun 1500- 1518 M. Menurut cerita rakyat Jawa Timur, Raden Fatah merupakan keturunan raja terakhir dari Kerajaan Majapahit, yaitu Raja Brawijaya V. Di bawah pemerintahan Raden Fatah, kerajaan Demak berkembang dengan pesat karena memiliki daerah pertanian yang luas sebagai penghasil bahan makanan, terutama beras. Selain itu, Demak juga tumbuh menjadi sebuah kerajaan maritim karena letaknya di jalur perdagangan antara Malaka dan Maluku. Oleh karena itu Kerajaan Demak disebut juga sebagai sebuah kerajaan yang agraris-maritim.
Barang dagangan yang diekspor Kerajaan Demak antara lain beras, lilin dan madu. Barang-barang itu diekspor ke Malaka, Maluku dan Samudra Pasai. Pada masa pemerintahan Raden Fatah, wilayah kekuasaan Kerajaan Demak cukup luas, meliputi Jepara, Tuban, Sedayu, Palembang, Jambi dan beberapa daerah di Kalimantan. Daerah-daerah pesisir di Jawa bagian Tengah dan Timur kemudian ikut mengakui kedaulatan Demak dan mengibarkan panji-panjinya. Kemajuan yang dialami Demak ini dipengaruhi oleh jatuhnya Malaka ke tangan Portugis. Karena Malaka sudah dikuasai oleh Portugis, maka para pedagang yang tidak simpatik dengan kehadiran Portugis di Malaka beralih haluan menuju pelabuhan-pelabuhan Demak seperti Jepara, Tuban, Sedayu, Jaratan dan Gresik. Pelabuhanpelabuhan tersebut kemudian berkembang menjadi pelabuhan transit.
Selain tumbuh sebagai pusat perdagangan, Demak juga tumbuh menjadi pusat penyebaran agama Islam. Para wali yang merupakan tokoh penting pada perkembangan Kerajaan Demak ini, memanfaatkan posisinya untuk lebih menyebarkan Islam kepada penduduk Jawa. Para wali juga berusaha menyebarkan Islam di luar Pulau Jawa. Penyebaran agama Islam di Maluku dilakukan oleh Sunan Giri sedangkan di daerah Kalimantan Timur dilakukan oleh seorang penghulu dari Kerajaan Demak yang bernama Tunggang Parangan. Setelah Kerajaan Demak lemah maka muncul Kerajaan Pajang.
b. Kerajaan Mataram
Setelah Kerajaan Demak berakhir, berkembanglah Kerajaan Pajang di bawah pemerintahan Sultan Hadiwijaya. Di bawah kekuasaannya, Pajang berkembang baik. Bahkan berhasil mengalahkan Arya Penangsang yang berusaha merebut kekuasaannya. Tokoh yang membantunya mengalahkan Arya Penangsang di antaranya Ki Ageng Pemanahan (Ki Gede Pemanahan). la diangkat sebagai bupati (adipati) di Mataram. Kemudian puteranya, Raden Bagus (Danang) Sutawijaya diangkat anak oleh Sultan Hadiwijaya dan dibesarkan di istana. Sutawijaya dipersaudarakan dengan putra mahkota, bernama Pangeran Benowo.
Pada tahun 1582, Sultan Hadiwijaya meninggal dunia. Penggantinya, Pangeran Benowo merupakan raja yang lemah. Sementara Sutawijaya yang menggantikan Ki Gede Pemanahan justru semakin menguatkan kekuasaannya sehingga akhirnya Istana Pajang pun jatuh ke tangannya. Sutawijaya segera memindahkan pusaka Kerajaan Pajang ke Mataram. Sutawijaya sebagai raja pertama dengan gelar: Panembahan Senapati Ing Alaga Sayidin Panatagama. Pusat kerajaan ada di Kota Gede, sebelah tenggara Kota Yogyakarta sekarang. Panembahan Senapati digantikan oleh puteranya yang bernama Mas Jolang (1601-1613). Mas Jolang kemudian digantikan oleh puteranya bernama Mas Rangsang atau lebih dikenal dengan nama Sultan Agung (1613-1645). Pada masa pemerintahan Sultan Agung inilah Mataram mencapai zaman keemasan. Dalam bidang politik pemerintahan, Sultan Agung berhasil memperluas wilayah Mataram ke berbagai daerah yaitu, Surabaya (1615), Lasem, Pasuruhan (1617), dan Tuban (1620). Di samping berusaha menguasai dan mempersatukan berbagai daerah di Jawa, Sultan Agung juga ingin mengusir VOC dari Kepulauan Indonesia. Kemudian diadakan dua kali serangan tentara Mataram ke Batavia pada tahun 1628 dan 1629. Mataram mengembangkan birokrasi dan struktur pemerintahan yang teratur. Seluruh wilayah kekuasaan Mataram diatur dan dibagi menjadi beberapa bagian sebagai berikut.
Kutagara. Kutagara atau kutanegara, yaitu daerah keraton dan sekitarnya.
Negara agung atau negari agung, yaitu daerah-daerah yang ada di sekitar kutagara. Misalnya, daerah Kedu, Magelang, Pajang, dan Sukawati.
Mancanegara yaitu daerah di luar negara agung. Daerah ini meliputi mancanegara wetan (timur), misalnya daerah Ponorogo dan sekitarnya, serta mancanegara won (barat), misalnya daerah Banyumas dan sekitarnya.
Pesisiran. Pesisiran yaitu daerah yang ada di pesisir. Daerah ini juga terdapat daerah pesisir kulon (barat), yakni Demak terus ke barat, dan pesisir wetan (timur), yakni Jepara terus ke timur.
Mataram berkembang menjadi kerajaan agraris. Dalam bidang pertanian, Mataram mengembangkan daerah-daerah persawahan yang luas. Seperti yang dilaporkan oleh Dr. de Han, Jan Vos dan Pieter Franssen bahwa Jawa bagian tengah adalah daerah pertanian yang subur dengan hasil utamanya adalah beras. Pada abad ke-17, Jawa benar-benar menjadi lumbung padi. Hasil-hasil yang lain adalah kayu, gula, kelapa, kapas, dan hasil palawija.
Di Mataram dikenal beberapa kelompok dalam masyarakat. Ada golongan raja dan keturunannya, para bangsawan dan rakyat sebagai kawula kerajaan. Kehidupan masyarakat bersifat feodal karena raja adalah pemilik tanah beserta seluruh isinya. Sultan dikenal sebagai panatagama, yaitu pengatur kehidupan keagamaan. Oleh karena itu, Sultan memiliki kedudukan yang sangat tinggi. Rakyat sangat hormat dan patuh, serta hidup mengabdi pada sultan. Bidang kebudayaan juga maju pesat. Seni bangunan, ukir, lukis, dan patung mengalami perkembangan. Kreasikreasi para seniman, misalnya terlihat pada pembuatan gapura-gapura, serta ukir-ukiran di istana dan tempat ibadah. Seni tari yang terkenal adalah Tari Bedoyo Ketawang. Dalam prakteknya, Sultan Agung memadukan unsur-unsur budaya Islam dengan budaya Hindu-Jawa. Sebagai contoh, di Mataram diselenggarakan perayaan sekaten untuk memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad saw, dengan membunyikan gamelan Kyai Nagawilaga dan Kyai Guntur Madu. Kemudian juga diadakan upacara grebeg. Grebeg diadakan tiga kali dalam satu tahun, yaitu setiap tanggal 10 Dzulliijah (Idul Adha), 1 Syawal (Idul Fitri), dan tanggal 12 Rabiulawal (Maulid Nabi). Bentuk dan kegiatan upacara grebeg adalah mengarak gunungan dari keraton ke depan masjid agung. Gunungan biasanya dibuat dari berbagai makanan, kue, dan hasil bumi yang dibentuk menyerupai gunung. Upacara grebeg merupakan sedekah sebagai rasa syukur dari raja kepada Tuhan Yang Maha Esa dan juga sebagai pembuktian kesetiaan para bupati dan punggawa kerajaan kepada rajanya. Sultan Agung wafat pada 1645. Ia dimakamkan di Bukit Imogiri. Ia digantikan oleh puteranya yang bergelar Amangkurat I. Akan tetapi, pribadi raja ini sangat berbeda dengan pribadi Sultan Agung. Amangkurat I adalah seorang raja yang lemah, berpandangan sempit, dan sering bertindak kejam. Mataram mengalami kemunduran apalagi adanya pengaruh VOC yang semakin kuat. Dalam perkembangannya Kerajaan Mataram akhirnya dibagi dua berdasarkan Perjanjian Giyanti (1755). Sebelah barat menjadi Kesultanan Yogyakarta dan sebelah timur menjadi Kasunanan Surakarta.
c. Kesultanan Banten
Kerajaan Banten berawal sekitar tahun 1526, ketika Kerajaan Demak memperluas pengaruhnya ke kawasan pesisir barat Pulau Jawa, dengan menaklukan beberapa kawasan pelabuhan kemudian menjadikannya sebagai pangkalan militer serta kawasan perdagangan. Maulana Hasanuddin, putera Sunan Gunung Jati berperan dalam penaklukan tersebut. Setelah penaklukan tersebut, Maulana Hasanuddin atau lebih sohor dengan sebutan Fatahillah, mendirikan benteng pertahanan yang dinamakan Surosowan, yang kemudian hari menjadi pusat pemerintahan, yakni Kesultanan Banten.
Pada awalnya kawasan Banten dikenal dengan nama Banten Girang yang merupakan bagian dari Kerajaan Sunda. Kedatangan pasukan Kerajaan di bawah pimpinan Maulana Hasanuddin ke kawasan tersebut selain untuk perluasan wilayah juga sekaligus penyebaran dakwah Islam. Kemudian dipicu oleh adanya kerjasama Sunda-Portugis dalam bidang ekonomi dan politik, hal ini dianggap dapat membahayakan kedudukan Kerajaan Demak selepas kekalahan mereka mengusir Portugis dari Malaka tahun 1513. Atas perintah Sultan Trenggono, Fatahillah melakukan penyerangan dan penaklukkan Pelabuhan Sunda Kelapa sekitar tahun 1527, yang waktu itu masih merupakan pelabuhan utama dari Kerajaan Sunda. Selain mulai membangun benteng pertahanan di Banten, Fatahillah juga melanjutkan perluasan kekuasaan ke daerah penghasil lada di Lampung. Ia berperan dalam penyebaran Islam di kawasan tersebut, selain itu ia juga telah melakukan kontak dagang dengan raja Malangkabu (Minangkabau, Kerajaan Inderapura), Sultan Munawar Syah dan dianugerahi keris oleh raja tersebut.
Seiring dengan kemunduran Demak terutama setelah meninggalnya Sultan Trenggono, maka Banten melepaskan diri dan menjadi kerajaan yang mandiri. Pada 1570 Fatahillah wafat. Ia meninggalkan dua orang putra laki-laki, yakni Pangeran Yusuf dan Pangeran Arya (Pangeran Jepara). Dinamakan Pangeran Jepara, karena sejak kecil ia sudah diikutkan kepada bibinya (Ratu Kalinyamat) di Jepara. Ia kemudian berkuasa di Jepara menggantikan Ratu Kalinyamat, sedangkan Pangeran Yusuf menggantikan Fatahillah di Banten. Pangeran Yusuf melanjutkan usaha-usaha perluasan daerah yang sudah dilakukan ayahandanya. Tahun 1579, daerah-daerah yang masih setia pada Pajajaran ditaklukkan. Untuk kepentingan ini Pangeran Yusuf memerintahkan membangun kubu-kubu pertahanan. Tahun 1580, Pangeran Yusuf meninggal dan digantikan oleh puteranya, yang bernama Maulana Muhammad. Pada 1596, Maulana Muhammad melancarkan serangan ke Palembang. Pada waktu itu Palembang diperintah oleh Ki Gede ing Suro (1572 - 1627). Ki Gede ing Suro adalah seorang penyiar agama Islam dari Surabaya dan perintis perkembangan pemerintahan kerajaan Islam di Palembang. Kala itu Kerajaan Palembang lebih setia kepada Mataram dan sekaligus merupakan saingan Kerajaan Banten. Itulah sebabnya, Maulana Muhammad melancarkan serangan ke Palembang. Kerajaan Palembang dapat dikepung dan hampir saja dapat ditaklukkan. Akan tetapi, Sultan Maulana Muhammad tiba-tiba terkena tembakan musuh dan meninggal. Oleh karena itu, ia dikenal dengan sebutan Prabu Seda ing Palembang. Serangan tentara Banten terpaksa dihentikan, bahkan akhirnya ditarik mundur kembali ke Banten.
Gugurnya Maulana Muhammad menimbulkan berbagai perselisihan di istana. Putra Maulana Muhammad yang bernama Abumufakir Mahmud Abdul Kadir, masih kanak-kanak. Pemerintahan dipegang oleh sang Mangkubumi. Akan tetapi, Mangkubumi berhasil disingkirkan oleh Pangeran Manggala. Pangeran Manggala berhasil mengendalikan kekuasaan di Banten. Baru setelah Abumufakir dewasa dan Pangeran Manggala meninggal tahun 1624, maka Banten secara penuh diperintah oleh Sultan Abumufakir Mahmud Abdul Kadir.
Pada tahun 1596 orang-orang Belanda datang di pelabuhan Banten untuk yang pertama kali. Terjadilah perkenalan dan pembicaraan dagang yang pertama antara orang-orang Belanda dengan para pedagang Banten. Tetapi dalam perkembangannya, orang-orang Belanda bersikap angkuh dan sombong, bahkan mulai menimbulkan kekacauan di Banten. Oleh karena itu, orang-orang Banten menolak dan mengusir orang-orang Belanda. Akhirnya, orang-orang Belanda kembali ke negerinya. Dua tahun kemudian, orang-orang Belanda datang lagi. Mereka menunjukkan sikap yang baik, sehingga dapat berdagang di Banten dan di Jayakarta. Menginjak abad ke-17 Banten mencapai zaman keemasan. Daerahnya cukup luas. Setelah Sultan Abumufakir meninggal, ia digantikan oleh puteranya bernama Abumaali Achmad. Setelah Abumaali Achmad, tampillah sultan yang terkenal, yakni Sultan Abdulfattah atau yang lebih dikenal dengan nama Sultan Ageng Tirtayasa. Ia memerintah pada tahun 1651 - 1682.
Pada masa pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa, Banten terus mengalami kemajuan. Letak Banten yang strategis mempercepat perkembangan dan kemajuan ekonomi Banten. Kehidupan sosial budaya juga mengalami kemajuan. Masyarakat umum hidup dengan rambu-rambu budaya Islam. Secara politik pemerintahan Banten juga semakin kuat. Perluasan wilayah kekuasaan terus dilakukan bahkan sampai ke daerah yang pernah dikuasai Kerajaan Pajajaran. Namun ada sebagian masyarakat yang menyingkir di pedalaman Banten Selatan karena tidak mau memeluk agama Islam. Mereka tetap mempertahankan agama dan adat istiadat nenek moyang. Mereka dikenal dengan masyarakat Badui. Mereka hidup mengisolir diri di tanah yang disebut tanah Kenekes. Mereka menyebut dirinya orang-orang Kejeroan. Dalam bidang kebudayaan, seni bangunan mengalami perkembangan. Beberapa jenis bangunan yang masih tersisa, antara lain, Masjid Agung Banten, bangunan keraton dan gapura-gapura.
Pada masa akhir pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa timbul konflik di dalam istana. Sultan Ageng Tirtayasa yang berusaha menentang VOC, kurang disetujui oleh Sultan Haji sebagai raja muda. Keretakan di dalam istana ini dimanfaatkan VOC dengan politik devide et impera. VOC membantu Sultan Haji untuk mengakhiri kekuasaan Sultan Ageng Tirtayasa. Berakhirnya kekuasaan Sultan Ageng Tirtayasa membuat semakin kuatnya kekuasaan VOC di Banten. Raja-raja yang berkuasa berikutnya, bukanlah raja-raja yang kuat. Hal ini membawa kemunduran Kerajaan Banten.
3. KERAJAAN SILAM DI KALIMANTAN(PONTIANAK)
Kerajaan-kerajaan yang terletak di daerah Kalimantan Barat antara lain Tanjungpura dan Lawe. Kedua kerajaan tersebut pernah diberitakan Tome Pires (1512-1551). Tanjungpura dan Lawe menurut berita musafir Portugis sudah mempunyai kegiatan dalam perdagangan baik dengan Malaka dan Jawa, bahkan kedua daerah yang diperintah oleh Pate atau mungkin adipati kesemuanya tunduk kepada kerajaan di Jawa yang diperintah Pati Unus. Tanjungpura dan Lawe (daerah Sukadana) menghasilkan komoditi seperti emas, berlian, padi, dan banyak bahan makanan..
Demikian pula Kotawaringin yang kini sudah termasuk wilayah Kalimantan Barat pada masa Kerajaan Banjar juga sudah masuk dalam pengaruh Mataram, sekurang-kurangnya sejak abad ke-16. Meskipun kita tidak mengetahui dengan pasti kehadiran Islam di Pontianak, konon ada pemberitaan bahwa sekitar abad ke-18 atau 1720 ada rombongan pendakwah dari Tarim (Hadramaut) yang di antaranya dating ke daerah Kalimantan Barat untuk mengajarkan membaca al- Qur’an, ilmu fikih, dan ilmu hadis. Mereka di antaranya Syarif Idrus bersama anak buahnya pergi ke Mampawah, tetapi kemudian menelusuri sungai ke arah laut memasuki Kapuas Kecil sampailah ke suatu tempat yang menjadi cikal bakal kota Pontianak. Syarif Idrus kemudian diangkat menjadi pimpinan utama masyarakat di tempat itu dengan gelar Syarif Idrus ibn Abdurrahman al-Aydrus yang kemudian memindahkan kota dengan pembuatan benteng atau kubu dari kayu-kayuan untuk pertahanan. Sejak itu Syarif Idrus ibn Abdurrahman al-Aydrus dikenal sebagai Raja Kubu. Daerah itu mengalami kemajuan di bidang perdagangan dan keagamaan, sehingga banyak para pedagang yang berdatangan dari berbagai negeri.
Pemerintahan Syarif Idrus (lengkapnya: Syarif Idrus al-Aydrus ibn Abdurrahman ibn Ali ibn Hassan ibn Alwi ibn Abdullah ibn Ahmad ibn Husin ibn Abdullah al-Aydrus) memerintah pada 1199-1209 H atau 1779-1789 M. Cerita lainnya mengatakan bahwa pendakwah dari Tarim (Hadramaut) yang mengajarkan Islam dan datang ke Kalimantan bagian barat terutama ke Sukadana ialah Habib Husin al-Gadri. Ia semula singgah di Aceh dan kemudian ke Jawa sampai di Semarang dan di tempat itulah ia bertemu dengan pedagang Arab namanya Syaikh, karena itulah maka Habib al-Gadri berlayar ke Sukadana. Dengan kesaktian Habib Husin al-Gadri menyebabkan ia mendapat banyak simpati dari raja, Sultan Matan dan rakyatnya. Kemudian Habib Husin al- Gadri pindah dari Matan ke Mempawah untuk meneruskan syiar Islam. Setelah wafat ia diganti oleh salah seorang putranya yang bernama Pangeran Sayid Abdurrahman Nurul Alam. Ia pergi dengan sejumlah rakyatnya ke tempat yang kemudian dinamakan Pontianak dan di tempat inilah ia mendirikan keraton dan masjid agung. Pemerintahan Syarif Abdurrahman Nur Alam ibn Habib Husin al-Gadri pada 1773- 1808, digantikan oleh Syarif Kasim ibn Abdurrahman al-Gadri pada 1808-1828 dan selanjutnya Kesultanan Pontianak di bawah pemerintahan sultan-sultan keluarga Habib Husin
Akulturasi Islam Dalam Bidang Aksara dan Seni Sastra
1. Hikayat adalah karya sastra yang berisi cerita sejarah ataupun dongeng. Dalam hikayat banyak ditulis berbagai peristiwa yang menarik, keajaiban, atau hal-hal yang tidak masuk akal. Hikayat ditulis dalam bentuk gancaran (karangan bebas atau prosa). Hikayat-hikayat yang terkenal, misalnya Hikayat Iskandar Zulkarnain, Hikayat Raja-Raja Pasai, Hikayat Khaidir, Hikayat si Miskin, Hikayat 1001 Malam, Hikayat Bayan Budiman, dan Hikayat Amir Hamzah.
2. Babad mirip dengan hikayat. Penulisan babad seperti tulisan sejarah, tetapi isinya tidak selalu berdasarkan fakta.Jadi, isinya carapuran antara fakta sejarah, mitos, dan kepercayaan.Di tanah Melayu terkenal dengan sebutan tambo atau salasilah. Contoh babad adalah Babad Tanah Jawi, Babad Cirebon, Babad Mataram, dan Babad Surakarta.
3. Syair berasal dari perkataan Arab untuk menamakan karya sastra berupa sajak-sajak yang terdiri atas empat baris setiap baitnya. Contoh syair sangat tua adalah syair yang tertulis pada batu nisan makam putri Pasai di Minye Tujoh.
4. Suluk merupakan karya sastra yang berupa kitab-kitab dan isinya menjelaskan soal-soal tasawufnya. Contoh suluk yaitu Suluk Sukarsa, Suluk Wujil, dan Suluk Malang Sumirang
Akulturasi Islam Dalam Bidang Seni Bangunan :
1. Atap Masjid Tumpang
2. Menara Masjid
3. Batu Nisan Kuburan
Akulturasi Islam Dalam Bidang Seni Ukir : Ukiran yang berupa patung mengalami penurunan karena dalam Islam dilarang, yang berkembang adalah pembuatan ukir-ukiran bermotif tumbuhan sarta seni Kaligrafi
Akulturasi Islam dalam Kalender:
Bukti perkembangan sistem penanggalan (kalender) yang paling nyata adalah sistem kalender yang diciptakan oleh Sultan Agung. Ia melakukan sedikit perubahan, mengenai nama-nama bulan pada tahun Saka. Misalnya bulan Muharam diganti dengan Sura dan Ramadan diganti dengan Pasa. Kalender tersebut dimulai tanggal 1 Muharam tahun 1043 H. Kalender Sultan Agung dimulai tepat dengan tanggal 1 Sura tahun 1555 Jawa (8 Agustus 1633).
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar